Jumat, 20 Desember 2013

Senandung untuk Bapak

Bapak, kini putramu telah tumbuh menjadi seorang dewasa
Masa kecil yang dulu sempat terlupa kini kembali ku buka
Bukan untuk membuka luka; sekadar mengingat agar tidak jadi pelupa

Bapak, ingin ku lihat wajah sepuh-mu disaat putramu tumbuh maju
Masih ingat dulu engkau menggendongku untuk tenangkan polahku
Kerap ku bertanya padamu tentang ini-itu, satu persatu engkau jawab tiada jemu

Bapak, andai engkau masih disampingku melihat ibu dan diriku
Apa yang harus aku haturkan padamu?
Sering teringat senyummu mengajariku arti sebuah ketulusan
Peluhmu kau sibak agar tidak terlihat kusam

Bapak, ingin ku putar masa itu kembali terulang
Mendengar suaramu mendongeng dan berdendang
Terkadang tersenyum mengingat masa kecil di padang ilalang
Melihat kambing, bebek, dan sapi terlepas riang

Bapak, ingin ku raih tanganmu
Menyematkan salam takzim penuh rindu
Ingin aku memeluk tubuhmu
Merasakan hangat pelukan tulusmu

Bapak, walau engkau tak pernah mengandungku
Namun, kau simpan kami di hatimu

Senandung untuk Bapak. Semoga tenang di haribaan-Nya. Salam takzim penuh rindu dari kami yang mengagumi dan mencintaimu selalu...


Manusia Biasa

Aku hanya manusia
diciptakan berbeda dengan lainnya
aku punya jiwa, punya rasa, punya harkat
sepertimu

Aku hanya manusia
yang menanggung beban derita
namun aku miliki asa dan gelora
sepertimu

Aku hanya manusia
ingin bebas merdeka
berlari, berpikir, dan bersuara
sepertimu

Aku hanya manusia
yang papa
      yang lemah
            yang kecil
dengan berjuta kelemahan


Rindu untuk Mereka

Rindu masa-masa itu
Namun ia kini berlalu
Entah bagaimana kembali bersatu
Tuk wujudkan rasa padu
Hari-hariku terasa kaku
Berselimut bayang semu
Nan ikut terselebung di dalam paru

Dia lah yang Maha Tahu
Kapan saatnya akan bertemu
Tuk kembali menyatu...


Pada suatu masa dipertemukan dengan anak-anak yang memiliki harapan dan mimpi. Terekam dalam kesempatan yang tiada pernah terganti. Bersyukur diri ini mendapat pembelajaran dari mereka. Si filsuf cilik. Pembelajar sejati. Terima kasih nak!

Berpose di depan puing kelas (SDN Bojong 5, Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat)


Sekadar menunjukkan karya anak perbatasan di depan kamera (Mungguk Gelombang, Sintang, Kalimantan Barat)


"Pak, ayo foto!" (SDN Kertaraharja 1, Sobang, Pandeglang, Banten)



Ke(ada)an

Mengertilah maka engkau akan paham dengan keadaan. Jiwamu memang melayang. Entah kemana ia pergi menemui terang. Biarkan ia terbang menggapai ketinggian. Pernah ku simpan semua keluh agar terpendam. Menyiksa batin, menyekik sanubari untuk kembali padam. Kosong tiada henti. Hanya bisu yang tersungging dalam diri. Walau mulut masih mampu bergerak mencipta bunyi. Ah...biarlah. Cobalah untuk biasa walau bias. Cobalah tersenyum walau nampak kaku. Ini bukan perkara jujur atau tidak, namun hanya berusaha untuk lebih baik. Dengan keadaan yang terpisah.

Titik 0

Penaku tertahan pada satu titik. Mencoba diam tak bergerak. Tergolek lemah lalu rebah. Dan kedinamisannya sebabkan ia menggelinding lalu terjatuh. Entah kemana diriku saat itu tertuju. Aku tertunduk pada suatu ketidakpastian. Mencoba menyandarkan pikiran pada sebuah harapan. Menerawang jauh tuk menggapai impian. Ya, diriku memang papa. Tak berdaya, tak kuasa, namun aku tidak tanpa rasa. Satu kata yang menjanjikan kemerdekaan bagi jiwa yang rindu pada kebebasan. Dalam renungan ku jangkau realita. Teramat penting bagiku untuk bebas bergerak dan berlari. Merasakan denyut nadi ihwal kehidupan. Namun, ihwal yang hakiki adalah pikiranku. Biarkan ia bebas meneguk maknawi semesta. Meneropong hingga menelurkan pertanyaan-pertanyaan yang alirkan napas dan bulir penghayatan. Dengan demikian bukan sekadar terejawantahkan dalam satu makna. Lebih kepada fitrah manusia untuk dapat memiliki dan mempunyai (r)asa. Lewat rasa kita mampu bersua. Dengan rasa kita mampu menerka. Dan dengan rasa kita memiliki cinta. Maka lahirlah asa untuk temani fluktuasi perjalanan hidup di setiap masa. Suatu keagungan untuk dapat merasakan nikmat Mahapemilik Rasa. Sang Raja Penguasa Semesta...

Versus

Acuh membuat alam menjadi ciut. Nyali-nyali pun demikian menampik fitrahnya. Rasa pengertian padam menjadi abu. Dibakar kedengkian hingga tercecar berserakan. Jiwa-jiwa welas asih ternodai oleh sikap kesewenang-wenangan. Tergopoh mencari kebenaran, menjemput kejujuran untuk bersandar. Namun apa daya kedigdayaan memusnahkan ketangguhan. Senyum kecut terbumbung dalam raut muka nan bingung. Tersuksesi dalam alam bawah sadar untuk segera berganti. Ah, itu ilusi. Ilusi. "Terkam...terkam saja, kaulah yang terkuat, bukan?" Dengan begitu kau tak hanya menjadi Raja, melainkan Maharaja yang adikuasa. Sejadi-jadinya suara hati meredam api yang tengah berkecamuk dengan keserakahan. Suara sanubari nan tulus terus membawa kebenaran dalam perisainya. Namun, suatu celah gagal didapat untuk mendinginkan jiwa pecundang yang tengah bersemayam. Kebenaran? Terkalahkan. Tersimpan lah ia di dalam angan. Bergelayut pada dunia ide menjadi sosok idaman, yang ideal. Demikian ia bersabar untuk menunggu masanya tiba...

Minggu, 08 Desember 2013

Menatap Ilusi

Puji padamu pagi
Mengingatkan embun untuk berlari
Tipis menari membungkus peri
Menyapa semesta lewat mentari

Apa kabar dikau hari ini?
Matamu sayu bagai terkena duri
Tertutup susah terbendung sedih
Tertunduk lesu menutup diri

Ah...ini bukan dikau yang senang hati
Guratanmu seakan berkata mati
Bosan bergerak lalu terdiam begini
Berkatalah, sekadar menjemput energi

Jiwamu hilang, rohanimu pergi
Badanmu kosong, ragamu sepi
Lalu apa guna diri ini menanti?
Hanya dikau dan Tuhan yang mengerti

Sudahlah...hari mulai berganti
Dan aku pun tercenung sendiri
Menatap ilusi...